Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Matchmaking Part 3

***
“Sedalam yang pernah kurasa..”
Laki-laki sipit itu memulai lantunan lagunya. Teriakan penonton langsung mendominasi segala suara yang ada di halaman mall tempatnya bernyanyi. Ia tersenyum menatapi orang-orang disekelilingnya yang sangat menyukainya itu. Kebanyakan memang perempuan. Namun jika diamati dengan seksama, terdapat juga lah penonton laki-laki di sana, terselip di antara ratusan orang yang menonton.
“Hasratku hanyalah untukmu..” Sambung teman duetnya. Seorang laki-laki yang memiliki senyum memikat ini, mendapat teriakan yang tak kalah riuh dari laki-laki sipit tadi. Ia pun membiarkan senyum mautnya itu disaksikan ratusan penggemarnya disana. Ia dan teman duetnya sahut menyahut menyanyikan lagu dari Glenn Fredly itu hingga selesai. Banyak penonton yang histeris ketika mereka berdua turun dari atas panggung. Mereka hanya membalas apresiasi penonton itu dengan lambaian tangan serta senyum yang mengiringi langkah mereka hingga benar-benar turun dari atas panggung.
Si lelaki sipit menoleh ke kanan-kiri seperti mencari seseorang. Namun, ia tak menemukan apa yang ia cari. Ia dengan segera merogoh ponselnya dan mengetik beberapa kata disana. “Lo nyari Shilla?” tanya teman di sebelahnya yang juga merupakan teman duetnya barusan. Ia mengangguk pasti. “Tuh!” Tunjuk temannya pada seorang gadis cantik berambut panjang yang sedang berjalan menuju mereka. Gadis itu tampak tersenyum sumringah ketika melihat orang yang ingin ditemuinya sejak tadi. Ia lantas melambaikan tangan dan bergerak cepat menuju kedua lelaki yang salah satunya juga sedang mencarinya.
“Hei!” Sapa Shilla, gadis itu, pada lelaki sipit kekasihnya. Ia juga menyapa orang yang ada di sebelah kekasihnya itu. “Lo nonton kita daritadi kan?” tanya Alvin, si lelaki sipit pada Shilla. Shilla kembali mengulas senyum dan mengangguk cepat. “Kalian keren!” Puji Shilla sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Gue apa Rio yang keren?” tanya Alvin lagi. Ia tersenyum miring seraya melipat kedua tangannya di dada.
Melihat itu, Shilla tersenyum jahil. “Kalo gue jawab Rio gimana?” Goda Shilla. Seketika air muka Alvin berubah datar. Tangannya tak lagi terlipat di dada melainkan sudah turun ke saku celananya. “Gue marah!” Jawab Alvin jutek lalu berjalan meninggalkan Shilla dan Rio. Shilla panik dan langsung berbalik badan menyusul Alvin. “Vin, maen tinggal aja nih?” Pekik Rio kesal. “Aiss gini nih kalo gak punya cewek. Gue mulu yang ditinggal!”
***
“Vin..” Berkali-kali Shilla memanggil nama itu, namun si pemilik masih belum mengacuhkannya. Alvin dengan santai berjalan tanpa menghiraukan panggilan-panggilan Shilla untuknya. Shilla pun pasrah. Ia lelah terus memanggil Alvin sedang Alvin tidak memperdulikannya sama sekali. Mereka memasuki salah satu resto yang ada di mall itu. Alvin menarik kursi dan langsung duduk tanpa menggeser kursi untuk Shilla terlebih dahulu. Biasanya Alvin melakukan itu tapi tidak untuk hari ini. Shilla ragu untuk ikut duduk melihat sikap Alvin yang begitu cuek. “Kayaknya gue nunggu di mobil aja.” Putusnya dan lantas berlalu dari hadapan Alvin.
Alvin langsung panik melihat Shilla pergi. Ia berdiri seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Ia bingung. Sebenarnya, ia punya tujuan mengajak Shilla kemari. Besok adalah hari jadi mereka yang ke 6 bulan. Karena ia tidak bisa merayakannya tepat pada hari-H, ia berencana merayakan itu semua lebih awal. Para pelayan yang ia minta membantu berkali-kali melirik ke arahnya. Mereka juga bingung kapan mereka harus membawa makanan-makanan serta sebuah kue yang sudah dipesan. Alvin kembali duduk di kursinya. Ia memandangi layar ponsel sambil mengetuk-ngetuknya pelan. Ia sedang mencari alasan yang bagus agar Shilla kembali.
“Hey, lo yang kemaren gue tabrak kan?” Seseorang berhasil mengalihkan Alvin dari ponselnya. Alvin pun menoleh dan melihat seorang gadis cantik berdiri di dekat kursi di depannya. “Kemaren?” Ujar Alvin bingung. Gadis itu lalu menduduki kursi yang seharusnya di duduki Shilla tadi. “Yah bukan kemaren juga. Itu lo, waktu makanan lo hampir jatuh itu. Inget gak?” Gadis itu kembali mencoba membuat Alvin ingat akan dirinya.
Alvin berpikir sebentar dan mengangguk ringan. “Oh yang itu.” Kata Alvin sekenanya. Gadis di hadapannya pun tersenyum. Ia mengulurkan tangan hendak berkenalan. “Gue Febby. Lo Alvin kan?” Kata Febby, gadis itu lagi. Alvin membalas singkat uluran tangan Febby sambil mengangguk pelan. Tentu saja Febby tahu namanya, tak sedikit orang yang juga tahu namanya. Ia seorang artis, member REAL, duo yang lagi naik daun pula!
“Kita satu sekolah loh! Lo gak sadar?” Mata Alvin sedikit melebar mendengar itu, yah meskipun masih terlihat sipit. Ia menjawab, lagi-lagi dengan gerakan kepala. Tak sedikitpun ia mengeluarkan suara sejak Febby mengajaknya berkenalan tadi. Febby terkekeh melihat reaksi Alvin yang seperti itu. “Lidah lo keram yah? Apa karena kebanyakan nyanyi?” Ledeknya. Entah mengapa, Alvin merasa kata-kata itu lucu. Ia pun tertawa ringan dan sejenak melupakan soal Shilla.
Sementara itu, Shilla hampir setengah jam menunggu Alvin di mobil. Bagi Shilla, ia berfikir bahwa Alvin masih marah dengannya. Sms pasti gak dibalas, telpon gak diangkat. Mm, apa gue balik kesana lagi aja? Batin Shilla menimang-nimang. Ia pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam mall menuju resto dimana Alvin berada.
Dari jauh, samar-samar ia dapat melihat bahwa Alvin tidak sendirian, ia sedang duduk bersama seseorang. Seorang perempuan. Sebagai cewek normal, tentu saja terlintas suatu pikiran buruk di benak Shilla. Ia tidak mau cepat-cepat mengambil kesimpulan. Mungkin saja itu hanya fans. Pikirnya. Ia kembali berjalan perlahan menuju meja Alvin.
Alvin mengangkat tangan hendak memesan menu. Tapi, ia lupa itu adalah kode untuk memanggil pelayan-pelayan yang awalnya akan membantu dalam perayaan hari jadinya tadi. Tiba-tiba sebuah lagu romantis berputar dalam resto itu. Para pelayan pembantu segera mendekat membawa berbagai makanan dan tak lupa sebuah kue tart yang telah dihias sedemikian rupa sehingga tampak cantik. Satu lagi, sebuah lampu tiba-tiba menyorot meja tempat Alvin dan Febby sehingga meja mereka terlihat sedikit menonjol dari meja-meja yang lain.
Alvin menepuk jidatnya karena melupakan hal ini. Ia melihat sekeliling yang kebanyakan juga sedang melihat ke arahnya. Beberapa dari mereka terlihat berbisik, entah apa yang mereka bicarakan. Lalu matanya menangkap sesosok tubuh mungil, berdiri kaku tengah melihatnya. Mulut Alvin membuka seketika. Ia sangat tidak mengharapkan sosok mungil itu ada disana, di sekitarnya. Setidaknya, untuk saat ini saja. Waktunya sangat tidak tepat!
“Shilla..” lirih Alvin. “Gue harap lo gak salah paham.” Tambahnya.
***
Waktu menunjukkan pukul 14.05 WIB. Ify dan Via baru saja memasuki hall tempat mereka biasa bermain tennis. Mereka menaruh beberapa peralatan mereka dan segera melakukan pemanasan. Selesai dengan itu, mereka mengambil raket serta bola dan segera bermain. Ify dan Via berdiri saling berhadapan di 2 bagian berbeda. Baru saja Ify hendak menguntal bola, tiba-tiba ada sebuah suara yang membuat Ify menunda niatnya itu.
“Via!” Panggil orang itu. Sebuah suara yang cukup tidak asing bagi mereka khususnya Via. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu. Ia segera menoleh ke belakang. Ada Iel dan Rio disana. Ify dan Via sama-sama kaget melihat kedua cowok itu. Ify menghembuskan nafas sembari menggigit bibir bawahnya. Gimana mau move on kalo gini caranya? Batin Ify kesal. Ia menunduk sambil memantul-mantulkan bola yang hendak dilemparnya tadi. Ia tidak ingin berlama-lama menatap wajah Rio.
“Main yuk?” Ajak Iel. Rio menoleh ke Iel bingung. “Ya udah main aja. Tuh masih ada lapangan satu lagi.” Kata Via polos. Asal tahu saja, jantung Via mungkin sedang bermain tennis di dalam sana karena begitu cepat tempo benda itu berdetak.
“Yaelah bukan itu. Maksudnya kita berempat Viaa!” Ralat Iel. Via membulatkan mulutnya dan mengangguk pelan. Tentu saja ia tak menolak. Bermain bersama Iel, siapa yang tidak mau? Ia menoleh ke Ify yang tengah asyik memantul-mantulkan bola. “Fy, Iel ngajak main. Mau gak?” Tawar Via. Ify pun menegakkan kembali kepalanya menghadap Via, Iel dan..Rio. Tanpa ia sengaja, orang yang pertama kali tertangkap di matanya itu ya..Rio. Dengan segera ia mengalihkan pandangan, tentunya ke Via.
“Iel aja? Masa 2 lawan 1?” Hmm, disaat seperti ini memang wajar tulalit Ify muncul. Eh tapi bukan disaat ini juga sih, tak jarang di setiap saat tulalitnya pun kambuh. Via mendecak pelan sambil menggaruk kepalanya. “Rio juga lah Piem kuu!” Serunya. Ify masih setia memantul-mantulkan bola. “Kita berdua pasangan?” Tanya Ify. Via mengangguk cepat dan mulai melangkahkan kaki ke tempat Ify. Sejurus kemudian, Iel menahan Via lagi.
“Yah masa cewek lawan cowok, darimana asalnya? Gini aja, lo sama gue dan Rio sama Ify. Setuju?” Tawar Iel. Sejenak Via merasa senang, apalagi kalau bukan karena Iel. Tapi ia pun merasa tidak enak hati. Ia melirik Ify yang juga tengah melihatnya. Yang ia lihat, Ify seperti memberi kode bahwa ia baik-baik saja dan tidak masalah dengan adanya Rio. Hmm, ia berharap semoga Ify tidak berbohong dan memang benar-benar tidak masalah.
Rio pun mengambil tempat berdiri di sebelah Ify. Ia melirik Ify sebentar mencoba memastikan. “Lo siap?” Tanyanya. Ify hanya berdehem menjawab pertanyaan Rio itu. Permainan pun dimulai, antara Rify dan Siviel. Beberapa saat mereka bermain, tiba-tiba ponsel Ify yang ia letakkan di samping tiang net berdering. Ada satu panggilan masuk. Ia berlari cepat mengambil ponselnya dan menjawab panggilan itu dengan tetap bermain tennis. “Eh lo niat main gak sih?” Kesal Rio yang merasa seperti main sendirian. Ya jelas, karena Ify kini lebih berkonsentrasi pada panggilan di ponselnya.
“Hallo, Pa. Kenapa?” kata Ify tanpa mengacuhkan komentar Rio barusan. Rio mendengus dan kembali konsentrasi bermain. “Hallo, Fy. Kamu di...aaargh!” Sahut Papanya yang tiba-tiba mengerang kesakitan. Wajah Ify pun berubah panik ditambah lagi setelah itu tak ada lagi sahutan-sahutan dari Papanya. “Hallo? Pa? Papa kenapa?” Tanyanya panik. Sambungan teleponnya terputus. Ia memandangi ponselnya dengan ekspresi yang..sulit dijelaskan. Yang pasti, ia sangat khawatir.
“Heh, masih mau main gak?” Ify melihat ke sebelahnya. Terlihat Rio sedikit kewalahan menghalau bola yang datang. Setidaknya kalau ngomong sama gue, ya sebut nama gue. Batin Ify kesal. “Gue punya nama!” Kata Ify datar. “Vi, gue balik duluan. Ada yang gak beres sama Papa gue.” Pamit Ify kemudian berlari menuju tasnya. Via, Iel dan Rio lantas berhenti bermain. “Apa susahnya nanya Mama lo? Repot banget sih.” Ujar Rio.
Ify diam sebentar lalu memasukkan raket tennisnya ke tas. Via sedikit terlonjak mendengar keluhan Rio barusan. “Gue gak tahu Mama gue pake nomor apa di surga.” Kata Ify tanpa menoleh sedikitpun ke Rio yang terlihat tak mengerti. Ia segera beranjak dari dalam Hall itu. Via dan Iel perlahan mendekati Rio. “Yo, kenapa lo ngomong kayak gitu? Udah berapa tahun sih kita sekelas?” Rutu Via sesaat setelah berada di depan Rio. Rio hanya mengkerutkan keningnya dan sekali lagi ia dibuat bingung baik Ify maupun Via. “Lo berdua kenapa kompak banget sih bikin gue bingung?” Keluh Rio.
“Yo..Mama Ify itu udah meninggal.” Lirih Via. Saat itu pula Rio terdiam, menatap Via tak percaya. “Hah?” gumamnya.
***
 Ify sudah sampai di rumah. Ia memarkir mobilnya asal. Ia terus memikirkan apa yang terjadi pada Papanya. “Paaa! Papaa!” Suara Ify terdengar menggema di setiap sudut ruang tamu rumahnya. Ia mengedarkan pandangan ke berbagai arah namun tak ada tanda-tanda keberadaan sang Papa. Sesaat kemudian, Papanya muncul dari balik pintu kamar. Papa Ify terlihat bugar seperti tidak ada sesuatu terjadi pada dirinya. “Papaa, tadi kenapa? Papa sakit? Apa yang sakit? Udah diobatin?” Tanya Ify tanpa henti.
Papanya hanya tersenyum melihatnya. “Papa gak apa-apa kok. Nih, orang sehat begini!” Mendengar itu, Ify akhirnya bisa bernafas lega. “Haaah, Papa hobby nih bikin aku khawatir!” Sekali lagi, Papanya hanya tersenyum lantas mengajaknya duduk di sova. Ify pun mengambil posisi tepat di sebelah Papanya. “Nanti malam, kamu gak ada janji kan?” Tanya Papa Ify untuk yang pertama kali. Ify memandang wajah Papanya yang entah kenapa masih terlihat tampan itu. Yah memang dasarnya ia tampan sih. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa menikahi seorang model seperti Mama Ify.
“Papa kayak mau ngajak Ify kencan aja. Emang kenapa sih?” Tanya Ify balik. Ia mengambil toples yang ada di depannya dan memakan apa yang terdapat di dalam. “Papa mau mempertemukan kamu dengan seseorang.” Ujar Papanya. Ify berhenti makan dan menoleh ke arah Papannya sebentar. Ia lalu kembali memakan kue kering yang ada di toples tadi. “Papa mau ngejodohin Ify?” Papa Ify tak langsung menjawab melainkan menyenderkan badannya ke sova terlebih dahulu. “Yah..kalo kamu mau.” Kata Papa Ify lagi. Ify ikut-ikutan bersender sambil tetap memegang toples. “Papa kepingin aku mau kan?” Anak dan ayah ini sepertinya hobby saling tanya satu sama lain. Papa pun Ify mengangguk.
Hening. Mereka saling diam. Sejurus kemudian, Ify menjawab. “Baiklah.” Ujar Ify pasrah. Seketika air muka Papa Ify berubah cerah. Ia melihat anaknya senang. “Yakin?”
“Mau Ify berubah pikiran?”  Mendengar itu, Papanya kembali tersenyum. Ia mengelus puncak kepala Ify lembut. “Setidaknya dia bisa jaga kamu kalau Papa pergi nanti.”
“Hah? Papa ngomong apa sih? Jangan ngawur!” Papanya hanya tertawa mendengar protes darinya itu. Dalam hati Ify berteriak senang. Oh my Allah, MOVE ON TIMEEE!!!
***
“Shill..” Sekarang keadaan berbalik. Kini, Alvin yang tengah berupaya membujuk Shilla. Shilla melakukan hal yang sama seperti yang Alvin lakukan sebelumnya. Ia berjalan santai tanpa memperdulikan Alvin. Ekspresinya datar namun siapapun dapat melihat bahwa ia sedang marah. “Shill, dengerin dulu!” Pinta Alvin.
“Eh cewek lo nungguin tuh, kasian tahu ditinggal gitu?” Sindir Shilla. “Tapi Shill, Febby itu..”
“Oh namanya Febby.” Potong Shilla sebelum Alvin selesai bicara.
“Shilla sayang, dengerin gue dong?” Pinta Alvin, lagi.
“Sayang-sayang, entar cewek lo marah. Gue gak mau jadi perusak hubungan orang.”
“Shill..”
“Gue gak mau denger!”
“Shill..”
“Gak!”
“Tapi..”
“Pokoknya gak!”
“Shilla-kuu, pleasee!” Shilla berhenti dan menoleh ke arah Alvin. “Vin, maafin gue karena gak bisa jadi yang lo mau. Tapi, lo bisa gak sih gak sekejam ini?” Keluhnya.
 “Gue..”
“Lo selingkuh liat-liat dong! Besok itu anniv 6 bulan kita. Lo bisa kan nunggu seminggu atau 2 hari lah. Sakit banget tahu gak sih!”
“Lo..”
“Ya udah sana tuh sama cewek baru lo. Kenapa lo masih nganggu gue? Hiks..” Kata Shilla terisak. Sekeras hati ia tahan agar tak menangis toh tuntutan air mata untuk segera keluar sudah tak bisa diganggu-gugat. “Hei, jangan nangis!” Kata Alvin lembut seraya mengusap air mata yang tumpah dari pelupuk mata Shilla. Shilla menepis ringan tangan Alvin yang menyentuh wajahnya.
“Pergi!” Bentak Shilla. “Dengerin gue dulu!” Alvin tetap bersikeras agar Shilla mau mendengar penjelasannya.
“Apa? Lo mau buat gue lebih sakit lagi?”
“Deng..”
“Lo bel..”
“SHILLA DENGERIN GUE!!” Kali ini Alvin berhasil memotong dengan sedikit ah mungkin membentak Shilla. Shilla seketika diam dan memilih untuk sesenggukan menangis dibanding berbicara lagi. Alvin menghela nafas dan merengkuh tubuh mungil Shilla dengan kedua tangannya. Ia memeluk erat gadisnya itu sambil mengusap kepalanya pelan.
“Lo pegang kata-kata gue, lo itu cuma satu-satunya dan gak akan tergantikan di hati gue. Sampai kapanpun yang Tuhan kasih izin gue buat jaga hati gue itu hanya untuk lo. Dan gue, seorang Alvin Jonathan, milik lo, Ashilla Zahrantiara. Lo yang punya hak atas gue, gak ada yang lain. Selain keluarga gue dan Tuhan tentunya.” Ia melepas pelukannya pada Shilla namun tetap memegang bahu gadis itu.
“Tapi, tadi itu..”
“Gue minta maaf udah lupa soal lo tadi. Dan kejadian di resto itu, kesalahan gue. Satu lagi, Febby, bukan siapa-siapa gue. Udah jelas?” Shilla mengangguk pelan dan masih terisak. Alvin pun kembali menyentuh wajah mulus Shilla dan menghapus air mata yang sudah terlanjur keluar itu. “Hei, jangan nangis lah. Ntar gue disangka ngapa-ngapain lo lagi!” Goda Alvin.
Shilla mendecak dan menatap Alvin kesal. Ia mempercepat langkahnya mendahului Alvin. Alvin pun segera menyusul. “Hei, gue becanda lagi!” Ujar Alvin seraya menautkan tangannya dan Shilla. Beberapa detik waktu berjalan hanya diisi oleh keheningan di antara mereka. “Vin..” Panggil Shilla akhirnya. Alvin hanya berdehem tetap melihat lurus ke depan. Shilla pun begitu, ia tidak menoleh ke arah Alvin.
“Maaf ya soal..”
“1 sama!” Potong Alvin dan kini memandang Shilla. “Ya kan?” Tambahnya. Shilla tersenyum seraya mengedikkan bahunya.
Drrt. Ponsel Alvin bergetar satu kali. Tandanya ada satu pesan masuk. Ia membuka pesan itu diam-diam. Kebetulan Shilla tidak sedang melihatnya melainkan memperhatikan sekeliling.
   From : Febby
   Soorry :’(
Alvin tersenyum sekilas dan kemudian membalas pesan singkat itu.
Di tempat lain, seorang gadis tengah duduk di salah satu meja yang ada. Ia tersenyum senang setelah membaca sebuah pesan yang bertamu di ponselnya.
   From : :):)
   No problem :)
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Matchmaking Part 2

*** “Fy..Fy pangeran lo tuh!” Seru Via ketika melihat Rio berjalan dari arah berlawanan tak jauh dari mereka, Via, Agni, Shilla dan Ify. Ify masih sedikit linglung dan tak mengerti dengan apa yang Via katakan. “Hah?..” Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya. “Ituu si Rio jalan ke arah sini!” Seru Via lagi. Ify malah garuk-garuk kepala dan makin bingung. Makin lama Rio makin dekat. Via pun mengambil inisiatif mendorong Ify ke hadapan Rio saat Rio benar-benar ada di hadapan mereka. Alhasil, Ify yang tak siap menubruk Rio. “Huwaa!” Panik Ify ketika merasa badannya terdorong ke depan tanpa bisa ia cegah. “Aww!” Rintih mereka bersamaan. Ify menindih tubuh Rio yang sepertinya terlihat meringis menahan sakit. Mata Ify membulat besar. Mulutnya menganga lebar. Ia shock melihat apa yang sedang ia alami apalagi melihat siapa orang dihadapannya emm tepatnya yang ia himpit. Ia refleks menutup mulut dan lekas berdiri. “Maaf..maaf!” Ujar Ify merasa bersalah. Rio dengan susah payah mencoba berdiri. Ify pun ikut membantunya dan tak henti-hentinya meminta maaf. “Duh sakit banget ya? Maafin gue, gue gak tahu tiba-tiba badan gue kedorong. Maaf, gue minta maaf banget sama lo!” Rio menatap Ify aneh dan bingung sendiri mau berkata apa. “Eh..iya..biasa aja kali.” Balasnya canggung. Ify diam dan tak bicara lagi. Ia berhenti meminta maaf. Gue nindih Rio?! Gila! Pikirnya. “Lain kali, hati-hati!” Kata Rio dengan suara lembut khasnya. Ia mulai melangkah meninggalkan Ify yang sedang sibuk mengatasi pacu jantungnya yang kian meninggi. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Agni kembali menahan Rio. Rio pun terpaksa berhenti. “Eh eh yo, gue lupa..” Tahan Agni. Ia menepuk jidatnya sendiri karena ada hal yang ia lupakan. “Lo sama Ify dipanggil Bu Okky di TRC.” Lanjutnya. Alis Rio terangkat sebelah, ia bingung. Begitu pula dengan Ify karena sedari tadi ia bersama Agni, tapi Agni tak pernah bilang soal ini. Yah namanya juga lupa. “Kapan? Kok lo gak bilang ini dari tadi?” Tanya Ify. “Lupa!” Jawab Agni santai. Ify mencibir pelan. Ia kesal, kesan ia dan Rio selalu tidak baik. “Thank’s!” Rio langsung pergi meninggalkan Ify dkk. “Fy, lola banget sih? Kejaar!!” Suruh Shilla. Ify mengangguk cepat dan segera menyusul Rio. “Yoo, ke TRC kan? Bareng!” *** Ify mengikuti Rio dari belakang. Orang-orang disekitarnya banyak yang memperhatikan dan umumnya mereka adalah para siswa perempuan. Tentu saja, seorang Mario mana mungkin tidak mengundang sensasi. Rio berjalan dengan santainya sementara Ify, ia celingak-celinguk sana-sini. Ia kesal, berkali-kali ia mendengar ada siswi yang mencemoohnya ketika ia dan Rio melintas. Ify mencibir pelan dan merutu dalam hati. “Eh eh itu siapa yang sama Rio?” heboh salah satu siswi yang melihat. “Emm, itu bukannya cewek yang sering ikut perbaikan ya? I..ya si Ify-Ify itu loh!” Sahut teman di sebelahnya. Kalau yang ini, Ify tak protes. Yah, memang kenyataan kalau dia sering ikut perbaikan. Mengingat nilai ulangan-ulangannya yang tak jarang di bawah rata-rata. “Aiss gak ada yang lebih bagus dikit apa?” gumam Ify pelan, sangat pelan malah. “Ah dia gak cantik dan postur badannya gak memadai. Dia bukan tandingan kita! Masih hebatan kita-kita lah!” Nah kalau yang ini memang patut menyulut emosi. Telinga Ify panas, hidungnya pun mulai kembang-kempis. Tangannya sudah mengepal. Rasanya, pot bunga yang berjejer di koridor sekolah yang ia lewati, ditumpahkan segala isinya pada orang yang mengatainya itu. “Gak cantik? Gak memadai? Rrrr, badan tengil gitu aja berani ngatain gue! Rio aja santai kenapa dia yang sewot?! Kalo gak ada Rio, udah gu..” BUK! Tiba-tiba Rio berhenti dan lagi-lagi Ify menabrak Rio. Yah tentu saja, ia kan tak mengira ini sebelumnya. “Adoow!” Rintihnya. Ify sedikit terdorong ke belakang. Ia mengelus-ngelus keningnya yang terjeduk *gakenakbgtbhsanya* punggung Rio. Rio berbalik badan seraya memasukknya kedua tangannya ke saku celana. “Kok berhenti sih?” Tanya Ify bingung –masih mengelus-ngelus keningnya-. Rio menghela nafas dan menatap Ify datar. “Gue tahu lo fans gue dan ini salah satu siasat lo buat deket sama gue kan?” ujar Rio tiba-tiba. Ify diam menatap cowok jangkung di hadapannya. Tangannya tak lagi bergerak mengelus-ngelus keningnya. Nafasnya tercekat dan sulit rasanya untuk bersuara. Ada setitik kesedihan mencuat di hatinya dengan Rio yang menyangkanya tidak-tidak seperti ini. “A..pa?” Kata Ify setengah mati mencoba membuka suara dan memang hasilnya tak begitu baik. Ify mulai memelintir baju bagian depannya. Kebiasaan Ify saat sedang gugup bahkan takut. “YO!” Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Rio. Rio pun menoleh dan didapatinya Iel sedang berjalan mendekatinya dan Ify. Ify pun ikut menoleh ke arah Iel. “Ada apa nih?” tanya Iel setelah sampai di hadapan Rio. Rio menghela nafas lagi seraya berkata, “Fanatik fans, biasalah. Yuk cabut!” dengan segera Rio berlalu meninggalkan Ify yang membeku bak batu es. Iel pun mengikuti Rio dari belakang seperti yang Ify lakukan sebelumnya. Ify hanya memandangi punggung Rio yang kian menjauh. Sejenak ia mencoba untuk tenang dan menjernihkan fikiran. Mungkin memang kesan gue dan Rio gak pernah baik. Pikirnya. Ia pun memutuskan tetap pergi ke TRC, meski tidak bersama Rio. *** Agni berjalan sendirian melewati koridor menuju kelas. Ini sudah masuk jam pelajaran ke 5 dan 6. Pelajaran pun sudah berlangsung sejak 30 menit yang lalu. Lalu mengapa ia di sini? Yah kalian tahu, hasrat alamiah yang sulit ditunda itu membuatnya harus meminta izin untuk keluar kelas. Yap! Ia baru saja keluar dari toilet, perempuan pastinya. Ia sengaja memperlambat tempo berjalannya. Wajar, saat ini matapel sejarah sedang berlangsung. Bukan masalah pelajarannya, tapi metode pengajaran yang dilakukan guru yang membuat gadis bergaya harajuku ini ingin berlama-lama menikmati suasana di luar. Bayangkan, sang guru hanya membaca tulisan-tulisan yang terangkai dalam slide power point-nya. Jadi, kesalahan tak sepenuhnya harus dititik beratkan kepada siswa, bukan? Agni berjalan sambil menoleh ke kanan kiri memperhatikan ruang-ruang kelas yang ada. Ada sekitar 2 sampai 3 kelas yang kosong. Mungkin sedang di Lab atau bahkan sedang berolahraga. Ia terus melangkahkan kaki menapaki persegi keramik lantai koridor hingga seorang siswa, cowok, membuat durasinya di luar kelas menjadi lebih lama. Jalannya tersendat karena cowok ini. Ia melangkah ke kiri, cowok itu pun ke kiri. Ia melangkah ke kanan, cowok itu ikut ke kanan. Sekarang, ia berhenti, cowok itu malah berhenti juga. Agni bingung harus apa dan mendecak kesal. Ia pun melangkah ke kiri dengan maksud mempersilahkan cowok di hadapannya agar jalan terlebih dahulu. Kali ini cowok itu tak mengikutinya lagi. Agni sedikit memperhatikan cowok itu selagi masih di depannya. Cowok itu pun melenggang pergi melalui jalan yang Agni sediakan. Agni kembali melanjutkan perjalanan tertundanya. Namun, setelah beberapa langkah berjalan ia tiba-tiba berhenti. Ia seperti baru mengingat sesuatu dan itu mungkin sangat penting. Kalung itu?! Batin Agni. Ia berbalik badan berharap cowok yang menghambatnya tadi masih terlihat. Namun, ia hanya mendapati jalanan koridor yang sepi dan tak ada lagi orang melintas selain dirinya. Ia menghembuskan nafas berat sambil menggigit bawah bibirnya. Ia menjijitkan kaki dan masih berusaha mencari keberadaan cowok tsb. Tetap saja hasilnya nihil. Ia menghembuskan nafas berat dan ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya. “Cakka..Diakah?” gumamnya pelan. Ia lalu berjalan lagi hingga benar-benar sampai di kelasnya. Haha, keadaan kelasnya masih sama. Sang guru masih setia dengan power point and her sleepy student. *** “Halo Shill, kenapa?” ujar Ify saat menjawab telepon dari Shilla. Ia diam sebentar, sepertinya saat itu Shilla tengah berbicara. “Gue di ruang lukis. Tenang aja bentar lagi gue ke kelas.” Ify pun mengakhiri telponnya dengan Shilla. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku rok. Ia berjalan menuju sebuah kursi yang di depannya sudah terpajang sebuah kanvas yang masih polos. Ia duduk di kursi itu sambil memandangi kanvas di depannya. Ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan terhadap kanvas ini. Sejujurnya, ia pun tak terlalu pandai melukis. Jadi, buat apa gue ke sini? Tanya ify pada dirinya sendiri. Ia menggeleng pelan dan masih menatap kanvas. Tiba-tiba muncul sosok Rio dalam lukisan itu. Ify mengucek kedua matanya memastikan apa yang ia lihat itu benar. Dan yah hasilnya, itu hanya daya imaginasinya saja. Mungkin karena ia terlalu memikirkan Rio. Ia merutuki dirinya sendiri sambil memukul-mukul kepalanya pelan. Ia benci dirinya yang seperti ini. Ia tidak suka. Ia ingin dirinya seperti biasa. Polos, ceria dan tanpa beban sama sekali. Masih sibuk merutuki dirinya, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki yang kian mendekat. Ify mendongak dan mendadak takut. Bukan takut karena hantu, melainkan jika ada guru piket yang melihatnya di sini, itu jauh lebih menakutkan. Memang sih, di kelasnya sedang tidak ada guru. Tapi tetap saja, siswa dilarang berkeliaran selagi jam pelajaran masih berlangsung. Ia panik dan langsung berdiri dari kursinya. Seperti biasa Ify memelintir-melintir bajunya sambil celingak-celinguk mencari tempat bersembunyi. Ia pun memutuskan untuk bersembunyi di samping lemari peralatan. Ia tidak punya ide lain. Ia segera berjongkok sambil memegangi lututnya. Dalam hati ia berdoa semoga orang itu segera pergi. Tap..tap..tap.. Kini langkah itu terdengar jelas sekali di telinga Ify. Ia makin panik. Ia pun memegangi lututnya makin erat. Bukannya pergi, tapi langkah itu terdengar berhenti dan sepertinya si pemilik sudah berada dalam ruang lukis. Tak ada perkembangan selanjutnya hanya ada suara bangku bergeser. Apa mungkin itu juga seorang siswa? Ify pun memberanikan diri melihat siapa orang yang baru datang itu. Dari belakang ia dapat melihat dengan jelas sekali bahwa itu seorang cowok dan dia memakai seragam. Sudah pasti ia juga seorang siswa seperti Ify. Ify pun bisa bernafas lega. Ia melirik sekali lagi pada cowok itu yang kini terlihat mulai melukis. Seketika mata Ify melotot mengetahui siapa orang itu. RIO? Batin Ify. Ia kembali mengucek matanya memastikan bahwa ini bukanlah imajisinya lagi. Dan kali ini benar. This is real! Ia tersenyum senang bisa bersama Rio sekarang. Rio asik mengarahkan pensilnya kesana kemari di atas kanvas. Sangat mudah rasanya melukis itu jika melihat pengerjaan Rio. Cukup lama ia menyelesaikan lukisannya itu. Otomatis cukup lama pula Ify berjongkok menungguinya selesai. Ify tak punya cukup keberanian lagi menghampiri Rio mengingat kejadian saat istirahat pertama tadi. Ia sangat bersyukur karena Rio selesai melukis dan pergi dari ruangan tersebut tanpa membawa hasil lukisannya. Ify segera berdiri ketika Rio sudah pergi. Ia sedikit oleng karena berdiri terburu-buru setelah sekian lama berjongkok. Ia berjalan mendekati tempat dimana Rio melukis tadi. Sejenak ia memperhatikan lukisan apa yang ada dalam kanvas itu. Ia tersenyum miris melihat dalam lukisan itu adalah seorang perempuan. Ini ceweknya? Hmm, mukanya familiar. Pikirnya. “Ngapain lo?” Ify terkejut setengah mati mendengar itu. Ia menoleh ke samping dan ada Rio disana sedang menatapnya tajam. Ia jadi takut sendiri bahkan kadar takutnya melebihi yang pertama tadi. “Hah? Gu..gue..” Jawab Ify gagu. “Lo ngikutin gue?” Tanya Rio dengan nada bicara yang sedikit marah. “Eh..gue..gak ngikutin lo kok. Sumpah!” Bantah Ify seraya menyembulkan dua jemarinya membentuk huruf ‘v’. Rio menghela nafas panjang dan kini menatap Ify kesal. “Jangan bohong!” Tuduh Rio. “Buang harapan lo jauh-jauh. Lo bukan tipe gue.” Katanya lagi. Ify benar-benar shock mendengar itu. Meskipun Rio tidak menyukainya, setidaknya Rio tidak harus mengatakan setelak itu apalagi di hadapan Ify secara langsung. Siapapun tak ada yang mau jika seseorang yang kita kagumi bahkan cintai berkata yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Benarkan? Ify tak sanggup lagi menatap mata tajam Rio. Ia menghela nafas dan menghembuskannya pelan seraya memalingkan wajahnya. “Gue tahu.” Lirih Ify. Ia menatap Rio kembali. Matanya nanar dan pandangannya datar. Tapi, siapapun yang melihat itu, mereka akan tahu bahwa si pemilik dalam keadaan yang menyedihkan. “Tapi..sebenarnya lo masih punya pilihan buat gak sejujur itu sama gue.” Selesai mengatakan itu, Ify berjalan perlahan meninggalkan Rio. *** Lagi, mengenai Ify, Shilla, Via dan Agni. Jam berakhirnya sekolah sudah berlalu dari 3 jam yang lalu. Seperti biasa, ke 4 gadis berbeda paras *halah* ini menikmati waktu senggangnya di rumah Ify. Kali ini bukan di gazebo lagi, melainkan kamar Ify sendiri. Tapi, bicara soal waktu senggang. Hmm, sepertinya mereka tidak benar-benar menikmati itu. Sampai di rumah Ify, mereka langsung memulai diskusi masalah pelajaran matematika. Bukan karena besok ulangan, tapi karena kebiasaan sang guru matapel yang terkadang suka memberikan ‘penghargaan’ mendadak. Sekali lagi, bukan penghargaan yang sebenarnya melainkan sebuah pertanyaan ulasan mengenai pelajaran yang telah mereka bahas. Dan kini, mereka telah selesai dengan rutinitas mereka itu. Mereka benar-benar menikmati waktu senggang yang sesungguhnya. Ify berbaring di atas kasur bercoverkan seprei bergambar wajahnya itu. Papa nya khusus memesan seprei ini untuknya. Ini hadiah ulang tahun Ify yang ke 12 lalu. Ify memandangi langit-langit kamar miliknya. Pikirannya masih kacau, perasaannya pun tak jauh beda bahkan lebih buruk malah. Sejujurnya, ia ingin menangis. Tapi, ia bukanlah seorang yang terbiasa melakukan hal itu. Ia tidak suka air matanya tertumpah dengan percuma. Hal ini belum menjadi alasan terbesar untuk Ify melakukan itu. Ia pun berkali-kali menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan berharap rasa sesak di dadanya segera hilang. Shilla duduk menyilangkan kaki sambil mendengarkan musik dari ipod pink nya. Agni pun sama namun posisinya berbeda. Agni duduk sambil menselonjorkan kaki dan menyender di tepi kasur Ify. Lalu Via? Hmm, anak ini masih setia dengan pensil dan catatan matematikanya. “Ni, lo masih nyari dia?” Ujar Shilla sekaligus memulai pembicaraan di antara mereka berempat. Agni menoleh ke arah Shilla. “Dia, siapa?” Tanyanya pura-pura bingung. “Gak usah pura-pura gitu lah.” Komentar Shilla. Ia memalingkan wajah dan kembali pada ipod-nya. Agni berpikir sebentar seraya memandangi langit-langit kamar Ify. “Lo juga, gak usah pura-pura gak tahu juga lah sama apa yang bakal gue jawab.” Balas Agni. Kini ia beralih dari langit-langit ke cincin yang menjadi bandul di kalung yang ia pakai. Ia menatap cincin itu lekat-lekat. Melihat itu Shilla hanya menghela nafas. Ify dan Via hanya ikut mendengarkan tanpa berkomentar dan bereaksi apa-apa. Mereka masih setia dengan kesibukannya masing-masing. “Gak pengen pindah haluan?” Tanya Shilla lagi dan menoleh ke arah Agni kembali. Agni pun segera mengalihkan pandangannya menuju Shilla. “Maksud lo move on gitu?” Sahutnya cepat. “BTW, caranya move on gimana ya?” Tiba-tiba sebuah suara muncul dari belakang Agni dan Shilla. Agni dan Shilla agak kaget mendengar itu. Bahkan Via, pensil yang ia pegang terlepas begitu saja mendengar sahutan itu. Mereka serentak menoleh ke pemilik suara. Yap, dia Ify. Ify masih setia memandang ke atas tanpa peduli dengan tatapan heran dari sahabat-sahabatnya itu. Agni, Shilla dan Via kemudian saling berpandangan bingung. ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Matcmaking Part 1

Ini sebenernya cerbung saya dapat copast dari fbfc yang saya jadi adminnya (?)
Jiahh

Lagsung aja yookkk


***
    4 orang gadis terlihat tengah menikmati waktu lengang mereka setelah merasakan kepenatan selama 1 minggu di sekolah. Agni, Shilla, Via dan Ify. Mereka berada di rumah Ify sekarang, tepatnya gazebo halaman belakang rumah Ify. Rumah Ify tak terlalu besar, hanya saja ayah Ify sengaja membuat halaman yang agak luas di belakang rumah. Rencananya sih agar anak-anaknya nanti tak merasa bosan dan juga halaman itu dapat dijadikan tempat bermain mereka. Tapi kenyataannya, ia hanya punya seorang anak. Dan itu Ify. Istrinya, Mama Ify, meninggal saat Ify berusia 4 tahun akibat gagal operasi. Namun sampai sekarang, Ify tak tahu operasi seperti apa yang membuat Mamanya meninggal.
    Lupakan masalah itu, kembali kepada 4 gadis cantik tadi. Ify tak henti-hentinya memajang senyum sejak kemarin. Ia masih terlalu senang mengingat-ngingat kejadian UH nya waktu lalu. Via sudah biasa dengan tingkah sahabatnya itu. Ia pun tak terlalu menghiraukan. Sementara itu, Agni masih asyik dengan dunia game nya. Mata dan pikirannya terpusat pada PSP yang sedang ia mainkan. Lalu Shilla? Sudah setengah jam lebih gadis itu hanya menumpu dagu pada lututnya sambil sesekali melirik ke arah ponsel. Ia seperti menunggu sesuatu terjadi pada ponsel itu. Ia sendiri pun bingung dengan apa yang sedang ia tunggu.
    “Kenapa lo?” tanya Agni tanpa menoleh sedikitpun pada orang yang ia maksud. Via dan Ify serentak menoleh pada Agni, tak lama mereka kemudian menoleh ke arah Shilla. Shilla sendiri masih setia dengan posisinya semula. Ia tak ikut menoleh ke arah Agni maupun Via dan Ify. “Tahu!” jawab Shilla asal. Ia tahu ia yang Agni maksud.
    LOSE. Kata itu muncul di layar PSP Agni. Jempolnya berhenti menekan tombol-tombol yang ada. Ia pun mendesis pelan. Ia lalu meletakkan PSP itu dan kemudian mendudukkan badannya dimana sebelumnya ia membuatnya berbaring. “Alvin?” tanya Agni, lagi. Membuat Shilla akhirnya menoleh. “Dia lebih tua 2 bulan kali dari lo.” Protes Shilla.
    “Bodo!” Agni membuang muka dan lebih memilih memandang air mancur yang ada di halaman belakang rumah Ify. “Kalo kangen telpon aja lagi, gak usah galau gitu lah!” Kali ini Via yang berbicara. Ia menselonjorkan kakinya dan menyender pada papan tepi gazebo. Ia memejamkan mata sejenak. Ify hanya manggut-manggut mendengar Via. Ia duduk bersila sambil mengetuk-ngetuk pipinya yang ia gembungkan, dengan kedua telunjuknya.
    “Masa gue lagi sih?” lirih Shilla pelan. Ia pun menenggelamkan kepalanya, frustasi. Masa gue terus yang sms dia duluan? Aisshh. Batin Shilla galau. Agni kembali menoleh ke Shilla dan menggeleng pelan. Tangannya kemudian bergerak cepat mengambil BB Shilla. “Lama lo! Kebanyakan mikir lah,” Ujar Agni. Jempolnya menari indah di atas susunan tombol di BB milik Shilla.
    Shilla mendongak segera dan melihat Agni memegang BB-nya. “Heh, lo mau ngapain?!” tanya Shilla garang. “Mau sms Kak Alvin.” Jawab Agni santai.
    “WHAT?! Balikin BB gue!” Agni tak lagi mengetik. Ia pun mengembalikan BB itu kepada pemiliknya. Sang pemilik mengambil dengan kasar diikuti dengan tatapan singanya. Shilla langsung mengecek kembali BB-nya itu dan tak ada yang spesial. Semua masih sama seperti terakhir kali ia menggunakannya. Ia pun menghembuskan nafas lega.
    Melihat itu Agni tersenyum geli. “Tenang aja, udah gue send kok.” Agni sudah mengambil ancang-ancang untuk lari. Seketika nafas yang semula hendak dihembuskan Shilla, tertahan di tenggorokan. “WHAT?! AGNII LO NGIRIM APAAN?!!” Teriak Shilla sesaat setelah Agni melarikan diri. Agni berhenti dan melihat ke belakang.
    “MISS YOU DEAAR, HAHAHA!!” Teriak Agni dengan nada mengejek. Ia tertawa puas melihat Shilla mengamuk. “AGNI!!”
***
Dug..dug..dug. Suara pantulan bola begitu dominan terdengar di rumah Rio pagi ini. Dua sahabatnya, Iel dan Cakka asyik menguasai lapangan basket miliknya. Sementara sang pemilik rumah hanya berbaring menumpukan kepala di tangan. Awan sepertinya terlihat lebih menarik dibanding basket. Begitulah menurut Rio, pagi ini.
Rio terus menatap awan. Membuatnya berkhayal tak jelas. Seakan-akan ada awan yang berbentuk naga disana, anak anjing bahkan kedua wajah sobatnya, Iel dan Cakka. Ia tertawa kecil saat wajah mereka muncul. Alvin? Ah, gue jadi kepikiran Alvin. Batin Rio. Tangan Rio bergerak menjelajah kantong celana pendeknya dan keluar bersama ponselnya pula.
“Lagi mikirin apaan sih? Gue bukan?” Tiba-tiba sebuah suara muncul dan yang pasti itu bukan suara Iel ataupun Cakka. Itu suara..
“Alvin?” Ya, Alvin. Orang itu Alvin. Tak ada yang sadar akan kedatangan cowok sipit ini, bahkan oleh Iel dan Cakka sekalipun. Mereka pun melihat dan lantas berhenti bermain basket. “Woy, Vin kapan datang? Kok gue gak sadar ya?” Sapa Cakka seraya berjalan mendekati Rio dan Alvin. Rio yang tadi berbaring dengan cepat mendudukkan badannya menghadap Alvin.
“Kita gak ada manggung minggu ini, ngapain lo kesini?” Tanya Rio. Alvin mengangkat sebelah alisnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Cool!
“Jadi, lo ngusir gue nih?”
“Ahelah, ya gak Vin. Cuma aneh aja, lo main ke sini hari minggu, besoknya kan sekolah.” Iel dan Cakka mengangguk. Sementara Alvin, masih sama seperti tadi hanya saja alisnya sudah kembali seperti seharusnya. Ia kemudian tersenyum melihat wajah-wajah heran dari para sahabatnya itu.
    “Besok anak kelas IX TO, jadi gue libur. Puas lo?” Mendengar itu, lagi-lagi Iel dan Cakka mengangguk. Rio, ia tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia pun kembali dengan posisi tidurnya. Alvin kemudian duduk di pinggir Gazebo tempat Rio berbaring.
    “Coba lu gak pindah Vin, CRAG kan utuh. Gak mencar gini.” Kata Cakka memulai pembicaraan. Iel tak terlalu mendengarkan, ia asyik meneguk Pocary Sweat nya sambil sesekali mengelap butiran keringat yang mengucur. Alvin dan Rio sama-sama tersenyum. Mereka pun saling berpandangan bingung, lalu tersenyum lagi.
“Lo masih galau aj yo!” Ledek Alvin pada Rio. Rio menoleh sekilas dan tersenyum miring. “Siapa bilang?” Balasnya –tetap tersenyum-. Alvin menatap Rio tak percaya. “Masa?”
“Yaiyalah. 2012, gak jaman lagi galau.”
“Buktinya lo nangis gitu, so pasti lagi kepikiran yang di Amrik. Ya kan?”
“Asem lo! Gue senyum gila bukan nangis! Lagi juga, gue gak galau. Gue lagi seneng, dia bakal kesini.” Iel tersedak mendengar perkataan Rio barusan. Ia menoleh cepat ke arah Rio. “Sekarang? Mana?” Tanya Cakka polos.
“Ya bukan sekarang lah, mana mungkin!” Bantah Rio. “Jadi?” Kali ini Iel.
“Secepatnya.” Iel memutar kedua bola matanya, Cakka pun tak jauh beda. Mereka sama-sama heran dengan sikap Rio itu. Sementara Alvin, sudut bibirnya bergetar menahan tawa. “Jadi si..”
TRING..*anggap aja nada pesan masuk yah haha*
Tiba-tiba ponsel Alvin berdering, membuat dialognya terpotong (?). Ia lekas memeriksa ponselnya itu. Ada 1 pesan masuk.
From : My Shilla
Vin, si Shilla galau gara-gara lo. Cepat kembaliin temen gue seperti semula!! –Agni–
Ia tersenyum mengetahui siapa yang mengiriminya pesan itu, apalagi membaca isinya. Ia kemudian mengetik beberapa kata hendak membalas pesan itu, namun bukan kepada Shilla. Ia mengalamatkan pesan itu pada si pengirim asli sms yang baru saja diterimanya. Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
“Gue cabut dulu guys!” Pamit Alvin seraya berjalan menjauhi Iel, Cakka dan tentunya Rio. “Mau kemana lo? Baru aja sampe.” Keluh Iel dengan sedikit berteriak. Alvin melihat ke belakang dan balas berteriak. “Nemuin cewek gue lah, kemana lagi?”
“Gue juga cabut dulu Yel, Yo.” Cakka ikut-ikutan pergi meninggalkan Iel dan Rio yang kini hanya berdua saja. Iel menggeleng pelan sementara Rio hanya tersenyum melihat Iel.
“Lo, gak cabut?” goda Rio. Iel menoleh kesal. “Cabut-cabut, emang nyawa apa?”
“Udahlah, muka lo kayak orang lagi galau aja.”
“Lo tuh yang kerjaannya galau mulu!”
“Biarin, daripada lo gak ada yang bisa di galau-in!”
“Ah lo yo, galau aja bangga. Liat aja ntar kalo gue galau! Gue cabut deh!” Iel yang sedang kesal memutuskan untuk pergi juga. Rio lagi-lagi tertawa. “Cabut juga kan tuh anak,” ujarnya sambil mengeleng pelan. Ia pun kembali menatap awan. Sekarang bukan naga, anak anjing ataupun wajah sahabatnya yang ia lihat. Tapi wajah seseorang yang sangat ia rindukan. Nantikan mungkin?
“Kapan lo balik?” lirihnya.
***
“Rp 50.000 mas,”
Alvin mengeluarkan selembar uang 50 ribu dari dalam dompetnya dan memberikan kepada sang kasir. Ia mengambil makanan dan minuman terbungkus yang ia beli dan melangkah pergi. Seorang gadis berjalan dari arah berlawanan tanpa melihat ke depan. Ia sibuk memperhatikan spanduk panjang yang berisikan menu-menu makanan di sana. Alhasil, Alvin dan gadis itu pun menabrak satu sama lain.
Bungkusan berisi makanan dan minuman yang dipegang Alvin hampir saja terjatuh. Beruntung hal itu tidak terjadi karena ditahan olehnya. Hampir saja! Pikirnya. Ia melihat ke arah gadis yang menabraknya yang kini juga sedang melihat ke arahnya. “Maaf,” kata mereka bersamaan.
“Eh,” Kata mereka lagi. Alvin garuk-garuk kepala sementara gadis tadi hanya tersenyum canggung. “Gue yang salah, jadi gue yang mestinya minta maaf.” Kata gadis itu duluan. Alvin tersenyum sambil mengangkat bungkusan makanannya. “Yang penting ini gak jatuh. Maaf gue buru-buru.” Alvin segera berbalik dan melanjutkan perjalanannya. Gadis tadi hendak mengejar Alvin, tapi tiba-tiba ponsel dalam kantongnya berbunyi.
Ia asal menekan tombol yes tanpa melihat siapa orang yang menelponnya. “Sayangku, lo di mana?” sahut si penelepon. Sepertinya seorang cowok. Gadis tadi menepuk jidatnya seperti kelupaan sesuatu. Namun sedetik kemudian ia melihat orang yang meneleponnya itu muncul beberapa meter di depannya sambil celingak-celinguk sana-sini. Ia segera memanggil orang tersebut.
“CAKKA!” Teriaknya seraya melambaikan tangan.
***
“Hh..hh..udah ah capek gue nyerah deh!” ujar Agni ngos-ngosan akibat aksi kejar-kejarannya bersama Shilla. Ia langsung duduk di Gazebo Ify. Ify hendak meminum jus jeruknya namun langsung disambar Agni. Alhasil, minumannya pun tewas seketika (?). Ify menatap Agni kesal sambil berkacak pinggang. “Agni, itu jatah gue!” Rutu Ify. Agni hanya nyengir sambil menyembulkan 2 jarinya membentuk huruf ‘v’.
“Darurat Fy.” Balas Agni santai. Ify manyun dan menatap Agni kesal. Kini ia tak lagi berkacak pinggang. Ia melipat kedua tangannya di dada. Beberapa saat Shilla datang dan sekarang gantian ia yang berkacak pinggang. Agni melihatnya malas. “Lo mau ikutan fashion show?” ledeknya.
“Lo gila ya, kalo Alvin baca mau ditaruh dimana muka gue? Gue kan malu.”
“Ya udah, tinggal bilang itu yang sms gue, susah amat?”
“Awas ya kalo dia nelpon lo harus ngaku kalo itu ulah lo!” Ancam Shilla akhirnya. Ia pun kembali duduk di gazebo tepatnya di depan Agni. Ia bersender di  papan tepi gazebo, sama seperti yang Via lakukan tadi sambil memainkan BB nya. Entah apa yang ia mainkan. Berbicara tentang Via, sedari tadi ia hanya tertawa menikmati pertunjukan yang dilakukan sahabat-sahabatnya.
Agni melihat ke samping, dan didapatinya Ify masih setia dengan aksi manyun ria nya. Agni pun terkekeh geli. “Jangan manyun gitu dong? Bibir lo gak bakalan seksi juga!” Bujuk Agni sambil menoel dagu tirus Ify. Ify menepis tangan Agni kasar tanpa membalas. “Heh, mau sampai kapan lo manyun-manyun gitu?” Tanya Agni. Ify menoleh dan mendengus.
“Sampai Rio nembak gue!” Tukas Ify. Mendengar itu Agni langsung tertawa begitu pula Via. Shilla? Dia cuma tersenyum tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ify. “Gak bakal kejadian dong? Haha..” Ledek Agni lagi.
“Agnii, lo jahat banget sih? Via, kok lo ikut-ikutan?” Ify bergantian menatap Agni lalu Via. “Ka..”
“YAAAA!!” Tiba-tiba Shilla berteriak sekaligus menunda hasrat ngomel panjang lebar Ify. Seketika semua pandangan Agni, Via dan tentunya Ify langsung terfokus pada Shilla. Hampir saja BB Shilla jatuh. Semua memandang Shilla penuh tanya. “Alvin nelpon!” Panik Shilla.
Agni langsung memutar kedua bola matanya, Ify menghela nafas sementara Via cuma garuk-garuk kepala. Mereka sama-sama heran melihat tingkah sahabatnya itu. “Angkat aja kenapa sih?” Ujar Ify secara ia yang paling kesal omongannya terpotong hanya karena Alvin yang menelepon. Ia benci jika ada yang memotong pembicaraannya karena jika itu terjadi, ia akan lupa dengan apa yang ingin ia katakan. “Dia pasti nanya masalah sms itu. Gue harus jawab apa?”
“Kan udah gue bilang tadi.” Jawab Agni. Shilla menepuk jidatnya karena lupa akan hal itu. Ia pun dengan segera menjawab panggilan tersebut. “Hay..” Sahut orang di seberang sana. Baru saja Shilla hendak berbicara panjang lebar, dengan sekejab seluruh kosakata yang ada dalam benaknya raib. Ia malah terdiam mendengar suara Alvin, orang yang meneleponnya. Gue kangen suara itu. Batin Shilla. “Helloo, lo marah?” tanya Alvin.
“Hh eh.." Kata Shilla canggung. “Kenapa? Kangen?” tanya Alvin, lagi. Shilla menyahut cepat, “Hah? Enggak itu...eh iya.” Suaranya makin pelan. Shilla membatalkan niat untuk menjelaskan tentang sms palsu (?) Agni. Ia menundukkan kepala sambil mengetuk-ngetuk pelan lantai menggunakan telunjuknya.
Hening. Masing-masing dari Alvin maupun Shilla saling diam. Tak ada yang mau bersuara melanjutkan pembicaraan. “Keluarlah!” Ujar Alvin akhirnya. Shilla dibuat bingung dengan perkataan Alvin barusan. “Hah, maksudnya?” Tanya Shilla. “Udah, lo keluar aja. Pergi ke seberang jalan taman dekat rumah Ify.” Pinta Alvin dan langsung memutus teleponnya dengan Shilla. Shilla menatap layar ponselnya bingung. Begitu pula sahabat-sahabatnya, juga menatapnya dengan tatapan bingung.
“Fy, taman deket rumah lo di mana?” Tanya Shilla ragu, bukannya menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dan Alvin. “Mm, deket dari sini sih. Tinggal jalan aja ke arah kiri, nyampe dah.” Jawab Ify. Shilla mengangguk pelan dan beranjak pergi. “Shil, mau kemana?” Tanya Via.
“Ke taman!” Agni, Ify dan Via saling berpandangan –makin- bingung. Sedetik kemudian mereka menggeleng pelan.
***
Alvin? Kata Shilla dalam hati, ketika melihat seseorang yang sedang duduk di depan sebuah mobil, milik orang tsb. Shilla masih diam dalam posisinya. Alvin, orang tadi, yang kini menyadari akan kedatangan kekasihnya, sudah pasti Shilla, langsung berjalan mendekat. “Lo..kangen banget ya sama gue?” goda Alvin setelah berhadapan dengan Shilla. Wajah Shilla langsung bersemu, ia agak malu melihat Alvin sekarang. “Siapa bilang? Itu..”
Tiba-tiba Alvin memeluk Shilla, erat sekali. Sepertinya ia juga sangat merindukan gadis cantik ini. “Kalo gitu, gue yang kangen berat sama lo.” Shilla bisa merasakan jantung Alvin berdetak cepat, tapi ia lebih bisa merasakan bahwa jantungnya berdetak jauh lebih cepat dibandingkan Alvin. Ia tak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Yang jelas, ia merasa senang, sangat senang malah. Ia tersenyum dan membalas pelukan Alvin.
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS